Oleh : Kang Oos Supyadin SE MM, Pemerhati Kesejarahan & Budaya *)
Catatan ini mengacu pada informasi pengarang Sunda terkenal, Muhammad Ambri, dalam bukunya berjudul “Numbuk di Sue”, yang diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka pada 1939. Numbuk di Sue merupakan karya fiksi, tetapi cukup akurat mengungkapkan keadaan alam tahun 1930-an yang masih serba sederhana dan lingkungan alamnya masih terpelihara. Karena itu, masih banyak rawa di tengah hutan tempat pangguyangan badak di Leuweung Sancang, Garut Selatan.
Di situ Ambri mengisahkan anak-anak sekolah dari Bandung yang berwisata ke Pantai Cilauteureun, Samudra Hindia di Kecamatan Cikelet. Sejak keberangkatan dari Bandung, selama di perjalanan dari Cisompet ke laut hingga kepulangan kembali, mereka selalu dirundung malang. Salah satu penyebabnya adalah acara perburuan badak yang dihadiri Kangjeng Dalem (bupati) sehingga semua kuda tunggangan di tepi desa dan kecamatan terpakai oleh para camat dan kuwu yang ikut berburu. Mungkin yang dimaksud Kanjeng Dalem alias Bupati pada tahun 1930 adalah R.A.A. Moehammad Moesa Soeria Kertalegawa, yang menjabat dari tahun 1929 hingga 1944, menggantikan ayahnya R.A.A. Soeria Kertalegawa (1915-1929).
Kehebatan profil Badak Sancang dan kegaduhan para pemburunya diperoleh dari seorang tokoh bernama Suanta yang menjadi gundal (pembantu) Juragan Camat yang mendampingi Kangjeng Dalem. Yang juga diperkuat berdasarkan keterangan dari LIPI dan juga Kepala Bagian Ekosistem Hutan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Garut, Sepdi Hendayana mengatakan, dari penelitian yang dilakukan sekitar 2012 itu, ada kemungkinan Hutan Sancang pernah menjadi habitat badak. Sayangnya, satwa tersebut kini sudah tidak lagi ditemukan di daerah tersebut. Kesimpulan dari penelitian itu dilihat dari jenis tumbuhan, makanan, dan aliran sungainya yang sama dengan kawasan Way Kambas Sumatera.
Keberadaan Badak Sancang diperkuat pula dengan ditemukannya fosil badak di daerah Cipatujah Tasikmalaya yang kini disimpan di Musium Geologi Bandung. Daerah Cipatujah berbatasan langsung dengan Sancang. Karena dinilai cocok menjadi habitat badak, pihak World Wide Fund for Nature (WWF) Internasional berencana mendatangkan badak Jawa dari daerah Ujungkulon Banten untuk ditempatkan dan dikembangbiakkan di kawasan Cagar Alam Sancang. Selain kondisi ekosistemnya yang dinilai cocok, luas areal Cagar Alam Hutan Sancang juga cukup memadai dijadikan tempat berkembang biak satwa yang terkenal dengan kulit tebal dan culanya itu. Hanya saja sampai sekarang, rencana tersebut belum ada kejelasannya.
Keterangan lainnya didapatkan dari H Daud MK (73 tahun) yang merupakan kelahiran Kampung Adat Dukuh menjelaskan bahwa sekitar tahun 1970 an sewaktu berdinas di RSUD dr. Slamet Garut bersama-sama rekannya suka ada kegiatan melihat Badak Sancang sekalian berliburan wisata ke Pantai Garut Selatan. Dengan demikian keberadaan hewan Badak Sancang Garut ternyata masih ada pada tahun tersebut. Tapi tidak ada informasi pasti terkait tahun kepunahan dari Badak Sancang ini alias tahun terakhir keberadaan Badak Sancang Garut ini.
Seperti yang sudah dikenal banyak orang selama ini bahwa kawasan Garut Selatan memang memiliki hutan legendaris, yaitu Leuweung Sancang yang terkenal ‘caneom geueuman’ alias hutan beraura mistis atau angker. Banyak kisah mengandung kepercayaan (mitos) yang menganggap Sancang sebagai tempat tilem (menghilang) Prabu Siliwangi. Menurut cerita rakyat yang berhasil dikumpulkan oleh panitia Hari Buku International Indonesia yang diprakarsai Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) pada 1972, Prabu Siliwangi mubus (kabur menyelinap) ke arah selatan karena dikejar-kejar anaknya, Raden Kiansantang, agar masuk Islam. Tiba di Hutan Sancang, ia bersama pengikut setianya menghilang. Prabu Siliwangi mindarupa (berubah wujud) menjadi harimau putih, sedangkan pengikutnya menjadi harimau belang manjang yang disebut maung Sancang.
Warna garis-garis hitam horizontal yang memanjang dari arah kepala ke bagian ekor membedakan maung Sancang dengan maung Lodaya, penghuni asli Sancang yang bergaris-garis hitam vertikal. Konon harimau putih jelmaan Prabu Siliwangi bersemayam di sebuah goa besar bernama Guha Garogol dan sesekali merenung menyendiri di puncak Karang Gajah di dekat muara Sungai Cikaengan.
Adapun maung Sancang mendiami rumpun-rumpun kayu kaboa, sejenis pohon bakau, yang hanya terdapat di pantai Samudra Hindia kawasan Sancang. Kawasan ini ditetapkan sebagai cagar alam pada tahun 1959. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian, Nomor 116/Um/59. Sedangkan status cagar alamnya, diberikan pada tahun 1978, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian, Nomor 370/Kpts/Um/6/1978 yang bertanggal 9 Juli 1978. Luas kawasan Cagar Alam Sancang pasca penetapan tata batas, mencapai 2.313,90 hektare, sementara kawasan lautnya sekitar 1.150 hektare.
Secara administratif, lokasi Leuweung Sancang berada di Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut. Lokasinya berada cukup jauh dari pusat perkotaan Garut. Dari titik nol kilometer Garut, yang berada di Kecamatan Garut Kota, lokasi Leuweung Sancang berjarak 111 kilometer, dengan waktu tempuh sekitar empat jam, menggunakan kendaraan bermotor.
Ada sekitar 19 daerah yang termasuk ke dalam daerah CA Sancang, yakni Cidahon, Cimerak, Cijeruk, Cibaluk, Cipangikis, Cetut, Cikabodasan, Cikalongberan, Cipalawah, Cipayawungan, Cipunaga, Cicungkangjambe, Cibako, Ciporeang, Cipangikisan, Karang Gajah, Cipadaruum, Cipanglembuan, dan Panglima. Namun, pada umumnya, Leuweung Sancang terbagi ke dalam dua daerah.
Hingga pertengahan tahun 1980-an, Hutan Sancang sebagai hutan tutupan suaka margasatwa masih terbilang utuh, tetapi segera mengalami degradasi hebat seiring dengan penyerobotan dan pembalakan liar pada tahun 1998. Salah satu satwa liar penghuni Sancang seperti Banteng, hilang lenyap tak berbekas. Mungkin satwa itu kabur ke arah Hutan Pangandaran yang masih cocok untuk habitat banteng atau mungkin bergelimpangan mati akibat dampak perusakan hutan. Diprediksi Banteng Sancang ini punah sebelum tahun 2007.
Dalam sebuah jurnal yang dibuat Rosyadi pada 2013, berjudul Legenda-legenda Keramat di Kawasan Sancang Kabupaten Garut, yang dilansir ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id, terdapat beragam flora dan fauna di sana. Fauna meliputi merak, sapi liar, owa jawa, kijang, ajag dan macan. Tapi, yang paling terkenal adalah banteng liar Sancang. Banteng di Sancang tercatat memiliki populasi sekitar 96 ekor di tahun 1994.
Sedangkan flora meliputi pohon palahlar, werejit, hingga spesies baru pohon meranti, yang ditemukan seorang ahli botani, Kostermans, pada tahun 1983 yang kemudian diberi nama Anisoptera costata. Pohon itu berukuran diameter 1,5 meter dan tinggi 45 meter. Ditemukannya di blok Cihanjuang, pada pal batu 130A. Di antara Sungai Cikalomeran di sebelah timur, dan Sungai Cipamingkis di sebelah barat.
Nasib Banteng Sancang sangat mirip dengan nasib banteng Cikepuh, Kabupaten Sukabumi, yang juga rusak terkena penyelewengan eforia reformasi. Area Hutan Sancang kini menyempit karena sebagian terkena pembangunan jalur jalan lintas selatan. Kondisi keamanannya sangat rawan. Kekayaan flora dan faunanya juga sangat menyusut.
Selain kehilangan banteng, Sancang juga kehilangan berbagai jenis burung langka, seperti rangkong dan julang, serta harimau, baik maung Sancang maupun maung Lodaya. Jenis kayu werejit yang getahnya mengandung racun keras ikut tumpas bersama kayu-kayu hutan tropis heterogen lainnya. Yang masih tersisa dari Hutan Sancang mungkin hanya legenda dan mitos, yang juga mulai tergerus waktu.
Semoga tulisan ini menjadi catatan yang bisa memberikan manfaat.
*) penulis pun aktif sebagai pengurus Dewan Adat Kabupaten Garut dan Dewan Kebudayaan Jawa Barat
Dalam Kenangan, Catatan Keberadaan Badak Dan Banteng Sancang Garut Selatan







