Oleh : Kang Oos Supyadin SE MM, Pengurus Dewan Adat Kabupaten Garut (DAKG)
Dalam konsep yang disiapkan Brasil pada acara COP30 berhasil menggalang sebesar 92 Triliyun, yang mana sebesar 20 persen dari hasil pengelolaan dana itu akan dialokasikan untuk masyarakat adat atas kontribusinya dalam menjaga hutan, yang pada akhirnya berdampak mengurangi emisi. Apa itu COP30 itu?
COP singkatan dari Conference of the Parties atau Konferensi Para Pihak, yaitu sekitar 200 negara yang telah menandatangani perjanjian iklim PBB pertama pada tahun 1992. Sedangkan COP30 adalah Konferensi Para Pihak ke-30 dari Konvensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) yang berlangsung di Belém, Brasil, pada November 2025. Pertemuan tahunan ini mempertemukan para pemimpin dunia untuk menegosiasikan tindakan iklim, dengan fokus utama pada pembaharuan komitmen untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 1.5 derajat celcius dan mendorong aksi nyata serta pendanaan yang lebih besar untuk mengatasi perubahan iklim.
Tujuan COP adalah untuk mendorong negara-negara untuk meningkatkan target pengurangan emisi (NDC) mereka dan memperkuat implementasi aksi iklim nyata, bukan hanya janji. COP30 juga membahas pendanaan iklim, transisi energi ke energi terbarukan, keadilan iklim, dan perlindungan hutan hujan Amazon.Agenda penting: Meninjau kemajuan Perjanjian Paris (yang berusia 10 tahun pada tahun 2025) dan mengoperasionalkan mekanisme yang disepakati, seperti Loss and Damage Fund.
Banyak studi menunjukkan bahwa masyarakat adat berkontribusi dalam menjaga hutan. Peneliti International Institute for Environment and Development, Krystyna Swiderska, dalam laporannya menyatakan hampir setengah miliar masyarakat adat di 90 negara memelihara hubungan budaya dan spiritual yang mendalam dengan kawasan mereka, termasuk hutan.
Menurut Swiderska, ada banyak contoh masyarakat adat dan komunitas lokal yang mengembangkan solusi untuk berbagai krisis berdasarkan pengetahuan tradisional mereka. Ia mencontohkan Potato Park di Peru yang dikelola di wilayah adat mereka dengan hukum adat atas prinsip-prinsip leluhur. Mereka menjaga taman kentang dengan melindungi ratusan varietas kentang asli berbasis konservasi. Model pengelolaan ini terbukti menjadi ketahanan pangan saat perubahan iklim terjadi.
Tulisan Alif Ilham Fajriadi yang berjudul “Mengapa Perlu Pengakuan Hukum atas Wilayah dan Hutan Adat” menjelaskan perkembangan terbaru COP30 soal inisiatif pendanaan iklim TFFF. Dana yang sudah terkumpul dari COP30 sebesar US$ 5,5 miliar atau sekitar Rp 92 triliun. Jumlahnya mungkin akan terus bertambah.
Salah satu tantangan yang harus diselesaikan adalah bagaimana skema penyaluran kepada masyarakat adat akan dilakukan. Sebab, masih banyak negara yang belum memiliki regulasi soal wilayah dan hutan adat.
Untuk Indonesia, elemen penjaga dan pelestari masyarakat adat termasuk dalam kami dari Dewan Adat Kabupaten Garut yang tentunya mewakili dan memperjuangkan masyarakat adat di Kabupaten Garut dan secara umumnya di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia menuntut pemerintah segera mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat serta menghentikan perampasan wilayah adat.
Kontribusi Indonesia Terhadap Iklim Dunia
Indonesia dalam hal ini melalui masyarakat adatnya memberikan kontribusi yang signifikan terhadap iklim dunia, terutama melalui emisinya dan peran penting hutan hujannya. Dari Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) saja Indonesia menyumbang sekitar 2,3% dari total emisi global. Angka ini menempatkan Indonesia di posisi keenam sebagai negara penghasil emisi GRK terbesar di dunia setelah Cina, Amerika Serikat, India, Uni Eropa, dan Rusia.
Selain itu adanya peran Hutan Hujan di Indonesia dimana memiliki hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia, yang berfungsi sebagai “paru-paru bumi” dengan menyerap karbon dioksida (CO₂) dari atmosfer. Deforestasi dan kerusakan hutan di Indonesia memiliki dampak besar pada iklim global, karena pelepasan karbon dari pembakaran dan hilangnya area penyerapan CO₂ memperburuk pemanasan global dan mengganggu pola curah hujan global.
Dengan demikian, kontribusi Indonesia terhadap iklim global sangat signifikan, baik sebagai sumber emisi yang perlu dikurangi maupun sebagai bagian penting dari solusi iklim melalui konservasi hutan.
Rahayu






