Oleh: Reni Sumarni
Idisi Online, Sabtu (23/8/2025) – Dalam pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, ia menyebutkan bahwasanya pajak itu sama dengan zakat atau wakaf, karena setiap rezeki dan harta yang kita miliki ada hak orang lain dan bisa disalurkan lewat tiga perantara diatas. Tentu saja pernyataan beliau ini menjadi trending topik, dengan mencuatnya kenaikan pajak yang terjadi di bebarapa wilayah, seperti di kota Pati Jawa Tengah, Jombang, Cirebon, Semarang hingga Bone Sulawesi Tengah. Tidak tanggung-tanggung kenaikan pajak di kota-kota tersebut melebihi dari seratus persen, aturan itu disampaikan oleh Bupati wilayah tersebut, sehingga memicu protes warga sampai meminta Bupati mereka untuk lengser dari jabatannya.
Pada dasarnya pemerintah menjadikan pajak sebagai pemasukan utama APBN dan yang terbesar, bahkan rencananya selain Pajak Bumi Bangunan (PBB), ada kategori baru untuk menambah pemasukan negara yaitu, pajak dari warisan, karbon dan rumah ketiga, bahkan nanti akan hadir lagi pajak baru dari beberapa objek. Pajak Bumi Bangunan (PBB) yang mengalami kenaikan fantastis saja, sudah membuat rakyat resah apalagi dengan diadakan pajak terhadap barang-barang kebutuhan rumah tangga, tentu saja peraturan ini sangat menyengsarakan rakyat.
Dalam sistem ekonomi kapitalisme, pajak adalah sumber keuangan yang sangat menguntungkan bagi pemasukan negara, alhasil ini juga menjadi peluang para koruptor agar bisa korupsi dana pajak. Sungguh sangat miris sekali, negara yang sumber daya alam (SDA) sangat melimpah, mengandalkan pajak sebagai pemasukan terbesar saat ini. Akan tetapi nyatanya rakyat hidup dalam kemiskinan, bahkan dibebani untuk membayar pajak, yang pada dasarnya bukan kewajiban rakyat.
Sistem kapitalisme sudah membuat kesenjangan sosial di tengah-tengah masrakyat, yang kaya mendapatkan fasilitas mewah, mulai dari segi pendidikan, kesehatan dan lainnya, sementara rakyat miskin jauh dari kata kemewahan. Bahkan pemerintah lebih mendahulukan kepentingan para kapitalis, tidak jarang rakyat dipersulit dalam hal apapun. Kebijakan pemerintah menaikkan pajak itu adalah perbuatan zalim dan sangat mencekik, karena mereka tega mengambil harta rakyat miskin. Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya, dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih (Q.S Asysyura:42).
Sedangkan dalam Islam perbandingan antara pajak, zakat dan wakaf jelas sangat berbeda dengan kapitalisme. Umat harus faham bahwa zakat tidak menggantikan pajak begitu juga sebaliknya. Dalam Islam pajak tidak wajib. Sekalipun ada pungutan akan tetapi tidak disebut pajak, melainkan adalah jizyah. Jizyah dikenakan terhadap orang-orang non muslim yang tinggal di wilayah negara Islam, itu pun bagi yang mampu. Sebaliknya, bagi non muslim yang tinggal di wilayah negara Islam tapi tidak mampu membayar jizyah, maka akan diberi santunan.
Sementara zakat dalam Islam ada dua macam yaitu, zakat fitrah dan zakat harta (mal). Zakat fitrah diambil pada saat bulan Ramadhan menjelang idul fitri saja dan sudah ditentukan nilainya, untuk penyalurannya pun jelas tercantum dalam Q.S At Taubah : 60. Begitu juga untuk zakat harta dikeluarkan apabila sudah mencapai nisab.
Sementara wakaf adalah penyerahan harta secara permanen, untuk kepentingan umum atau ibadah. Dengan syarat tidak boleh diwariskan atau dijual, seperti wakaf tanah yang dipakai untuk membangun mesjid menjadi amal jariyah bagi yang mewakafkannya.
Dari sini kita lihat bahwa dalam Islam, antara zakat, wakaf dan pajak ada yang kategori wajib dan tidak. Pajak atau dharibah dalam Islam tidak wajib. Pajak akan dipungut manakala negara sedang dalam keadaan genting dan kas negara kosong. Dan pungutan tersebut hanya akan diambil dari orang kaya saja (aghniya) dan tidak ditetapkan berapa nominalnya.
Syariat Islam akan menjamin rakyatnya hidup sejahtera tanpa harus memungut pajak, karena pos-pos dalam negara Islam (daulah) sudah bisa mencukupi kebutuhan rakyat, terlebih lagi pengelolaan SDA negara tidak akan diberikan pada pihak swasta, akan tetapi negaralah yang wajib mengelolanya dan hasilnya untuk kebutuhan rakyat, Begitulah syariat Islam mengatur SDA yang akan menjadi salah satu pemasukan negara, selain dari SDA pemasukan daulah juga bisa dari kharaj, harta fai’ atau zakat mal yang dikeluarkan dari perdagangan, pertanian dan lainnya.
Seperti itulah Islam mengatur pemerintahan, dimana kebijakan yang dikeluarkan tidak akan membuat rakyat sengsara apalagi hidup dalam kemiskinan, karena sudah terbukti pada masa daulah tegak tidak ada warga daulah yang menjadi dhuafa atau penerima zakat. Dan tidak membedakan status sosial antara yang miskin atau kaya, semua mendapat fasilitas yang sama dalam hal pendidikan, kesehatan dan lainnya.
Sejatinya rakyat akan hidup sejahtera tanpa pajak, akan tetapi itu bisa terwujud apabila daulah Islam tegak dengan kepemimpinan Islam, dan penerapan syariat Islam secara kaffah, bukan aturan atau undang-undang yang dibuat manusia. Karena sang maha pembuat aturan atau hukum syara hanyalah Allah SWT.
Wallahu a’lam bishshawab.