Oleh : Kang Oos Supyadin SE MM (Pemerhati Kesejarahan dan Budaya)

A. Sejarah Kadipaten Caringin Banten

Caringin merupakan sebuah dusun/kampung yang terletak dipesisir pantai kabupaten Pandeglang Provinsi Banten. Pada jaman Kesultanan Banten Caringin adalah sebuah pelabuhan yang sangat maju, itu terlihat dengan adanya ekspansi bangsa asing (Belanda) tahun 1813 yang memecah kesultanan Banten menjadi 4 Wilayah yaitu Banten Kidul, Banten Kulon, Banten Lor dan Banten Tengah.

Kemajuan disektor pertanian membuat Caringin menjadi ( Top Rice in Banten) setelah Tirtayasa (Pontang) dan pemerintah keresidenan menyebutnya sebagai lumbung padi yang paling tersohor di wilayah kekuasaannya.

Selanjutnya pada tanggal 2 Desember 1828, Hindia Belanda membagi wilayah keresidenan Banten menjadi 3 kabupaten ; yaitu kadipaten Serang, Kadipaten Lebak dan kadipaten Caringin, yang mana kadipaten Caringin yang pada sekitar 1840-an dipimpin oleh seorang patih dari Bungbulang Garut yang bernama Raden Tumenggung Wiradijaya (1840-1849) sehingga warga sekitar memanggilnya Raden Dalem atau Regen Boncel atau lebih dikenal dengan julukan Dalem Boncel.

Pada masa pemerintahan Raden Tumenggung Wiradijaya atau Regen Boncel, Caringin mempunyai torehan (Peringkat) luar bisa disektor pertanian, pembangunan dan kebijakan monopoli perdagangan, sehingga bangsa asing yang berkunjung ke kadipaten/kabupaten Caringin amatlah banyak dan perairan sungai Ci Sanggom, Cisukma sampai ke perairan Banyubiru banyak dilalui oleh kapal-kapal dagang eropa dan timur tengah, seperti India, Spanyol, Ingris, Belanda, Prancis bahkan Cina dan Arab yang erupakan Konsumen dagang yang bisa dianggap sering berkunjung.

Dikutif dari buku (Catatan Masa Lalu Banten ; Ambary) yaitu pada tahun 1839 M, bupati Serang Raden Adipati Jayakusuma Ningrat lantas diganti oleh Raden Adipati Manduraraja Jaya Negara (bupati Caringin), setelah itu beliau digantikan oleh Raden Tumenggung Wiradijaya (Regen Boncel) Bupati yang baru berasal dari Bungbulang Garut. Sedangkan yang menjabat di Pandeglang pada saat itu ialah Raden Ario Condro Negoro, yang memang keduanya bukan dari kalangan bangsawan asli bangsa Banten.

B. Gunung Krakatau Menjadi Bukti Peradaban Masa Lalu Kadipaten Caringin

Pada tanggal 27 Agustus 1883 M, Gunung berapi yang berada di dasar laut Jawa-Sumatera (Selat sunda) bernama Gunung Krakatau yang
tertidur lamanya akhirnya terbangun dan meluluh lantahkan sekitar pulau jawa dan sekitarnya dengan kekuatan 250 Megaton Bom Atom Hiroshima dan Nagashaki. Sehingga pemukiman disekitar pantai pulau Jawa-Sumatera serta Bandar-Bandar Niaga Hindia Belanda hancur menjadi puing-puing reruntuhan bersejarah.

Kadipaten Caringin pada saat itu yang penduduknya banyak menjadi korban, umumnya mereka tewas di terjang tsunami setinggi pohon kelapa (20 meter).

Asisten Jao Van den Bosch termasuk P. Schalk, tewas seketika dan bupati Caringin Raden Tumenggung Jaya Negara bersama 55 orang keluarganya tewas pula. Tercatat 12.000 orang meninggal dunia di wilyah Kadipaten Caringin.

Bahkan menurut warga sekitar ada satu pemukiman penduduk yang hilang dan berada dipedalaman laut pesisir pantai caringin yang terkena bah tsunami Krakatau. Karena dahulu jarak laut ke dataran tinggi cukup jauh, maka bisa saja, masih banyak puing- puing bangunan yang masih terpedam didasar laut bekas letusan gunung Krakatau 1883.

Kadipaten Caringin dipenghujung Abad Ke-18 M atau kisaran sebelum abad ke 19 masehi kadipaten Caringin adalah sebuah kota dan pelabuhan niaga bangsa asing yang bermukim dan menjalin hubungan dengan kaum pribumi, sehingga timbul kepedulian antar umat beragama baik sesama maupun non-muslim.

Kadipaten Caringin pada masa tersebut adalah sebuah pemukiman padat penduduk, ini terlihat dengan beberapa aktivitas penduduk local dan ragam social masyarakat asing yang membaur menjadi satu. Walaupun notabenya masyarakat pada saat itu adalah seorang nelayan, buruh dan petani, namun tingkat kesejahteraan bisa dibilang makmur.

Dengan adanya lajur ekonomi membuat masyarakat sekitar mendapatkan penghasilan yang cukup untuk melakukan niaga (Perdagangan) dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Komoditas rempah-rempah membuat Caringin bisa dikatan sebagai jalur dagang alternatif, selain dekat dengan perairan Caringin pun tidak begitu jauh dari pedalaman hutan dan pegunungan.

Namun, kebijakan ekonomi Hindia Belanda yang tidak sesuai dan memberatkan pribumi, membuat rakyat semakin terpuruk dan sengsara. Sehingga dibeberapa wilayah seperti di pesisir timbulah perlawanan rakyat yang dipimpin oleh para ulama dan santri untuk menghentikan peran kolonial yang semata-mata menguntungkan pihak asing sendiri tanpa peduli terhadap kesejahteraan rakyatnya. Itu terlihat dari eksplorasi kompeni yang memegang kendali lajur ekonomi dan perdagangan rempah-rempah dengan harga tinggi. Sehingga penjual hanya mendapatkan harga minim dari rempah-rempah yang dijualnya.

Keterpurukan dan koropsi pun merajalela dari kaum bangsawan sampai ke kesultanan. Walaupun sultan pada saat itu yang memegang kebijakan. Namun, tetap saja, kompenilah yang ada dibelakang. Sangat jelas sekali kaum pribumi dirugikan dengan kebijakan-kebijakan politik ethis Hindia Belanda apalagi yang notabennya dari kaum kecil. Mereka memeras keringat pribumi tanpa ada rasa terimaksih.
Masih timbul banyak pertanyaan bagi penulis, termasuk bagaimana pasca (setelah) terjadinya letusan Gunung Krakatau di wilayah Caringin dan kisaran kurun waktu setelah lengsernya Raden Tumenggung Wiradijaya (Regen Boncel) yang kalau dibabakan periode masanya dari tahun 1813, 1828, 1839, 1840, 1849 sampai dengan 1883 kurang lebih sekitar 70 Tahun silam.

C. Bukti Sejarah Peninggalan yang masih banyak ditemukan di wilayah Desa Pejamben dan sekitarnya

Pejamben merupakan salah satu wilayah yang berada di daerah Pandeglang-Banten, suatu daerah padat penduduk, memang pada saat itu keluarahan/desa Pejamben belum ada namun secara historis pejamben memiliki banyak kisah panjang tentang Kadipaten Caringin Pada Abad ke-18 sampai dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia tahun 1945.

Beberapa peninggalan Pejamben Banten Heritage (Pejamben Warisan budaya Banten) yang memperlihatkan potensi sejarah kadipaten Caringin pada abad ke-18 dan Abad ke- 19 Masehi, yaitu sebagai berikut :
1. Makom Raden Tumenggung Wiradijaya (Regen Boncel) dan istrinya Widaningrum dengan tulisan di batu nisannya (1840-1849) tepatnya di TPU-Cibango Desa Pejamben.
2. Makom Pangeran Jimat (Yudanegara) tahun tidak diketahui.
3. Makom Pangeran Raden Mas Kusumah Nagara 1849 (anak dari Raden Tumenggung Wiradijaya (“Regen Boncel”).
4. Terdapat 20 Makom tidak dikenal dengan batu nisan berbentuk kubah lonjong (Perkiraan makom demang, adipati dan patih-patih terdahulu)
5. Makom Syekh Mantri (Penasehat Kesultanan Banten) di komplek Sekolah MDTA Riyadhunasiin Kp. Caringin Lor.
6. Benteng Jepang dicaringin, yang berkisar dari tahun 1942-1945.
7. Makom Pembantaian Komunis tahun tidak dapat diketahui.
8. Gedung Rombeng (Gedung Tua) diwilayah Pesisir Pantai Caringin.
9. Makom Syekh K.H. Asnawi Caringin, yaitu Ulama dan pejuang kebanggan tahan air Indonesia (situs BCB).
10. Makom Patih Rasinah (tidak dapat diketahui Riwayatnya).
11. Sejarah Pasir Lame Desa Pejamben.
12. Komplek Makom Cina dikampung Cidoke-Pejamben (tidak diketahui tahunnya).
13. Kademangan (Salah satu Kampung yang berada didesa Caringin).
14. Gedung Kewedaan Labuan yang menjadi symbol adanya historical masa penjajah (Sekarang Sudah Hilang).
15. Rel Kereta Api dan Stasiun Kereta Api Labuan kisaran abad ke-19 M (sekerang sudah tdk terawat).
16. Benteng Jepang diteluk-Labuan dibangun kisaran Abad ke-19 M (tidak ada yang tahu riwayatnya).
17. Masjid Agung “assalafi” Caringin di desa Caringin (dibangun pada tahun 1884 oleh KH. Syekh Asnawi Caringin) dan salah satu situs BCB.
18. Komplek Makom Syehk Daud di Cigondang-Labuan (situs BCB yang dikelola Warga Cigondang).
19. Jejeran Pohon Asem disepanjang Jalan Caringin-Jiput (Orde Lama).
20. Masjid Tua Nurul Huda Kampung Kadupayung Desa Bama.
21. Situ Cening di kawasan desa Jiput
22. Tempat pemeliharaan kuda, salah satunya Kandang kuda milik mang Jaman (Delman ; Kuda Para Demang dan bupati) di sekitar kampung Siruang desa Caringin (Bestcamp). Ada seorang warga desa Caringin yang bernama mang Jaman (alm.) Ia mempunyai Delman yang dipakainya untuk mencari nafkah. Namun, disayangkan Delaman itu sudah hamper punah.
23. Sekolah tua Mts/MA Masyariqul Anwar (Pusat Pendidikan Belajar yang cukup tua diwilayah Kecamatan Labuan Berada di Desa Caringin).
24. Benteng Peninggalan Jepang di kampung Laba.
25. Mitologi Tenjolahang (Cerita Rakyat Tenjolahang) dan Mitologi Pejamben (Cerita/Legenda Rakyat Pejamben)

D. Sekilas Cerita Perjalanan Si Boncel Bungbulang Hingga Menjadi Seorang Dalem (Bupati)

Diambil dari buku bacaan Cerita Rakyat Jawa Barat Dalem Boncel yang ditulis oleh Dra. Sunarsih, M.Hum bahwa sekitar awal abad 18 atau awal tahun 1700 an disebutlah kisah seorang petani suami istri di daerah Bungbulang yang hidupnya serba kekurangan dan mereka memiliki seorang anak laki-laki yang diberinama Boncel.

Keadaan masyarakat Bungbulang saat itu masih terbilang sangat sedikit, si Boncel kesehariannya suka membantu orang tuanya bertani. Keadaan inilah yang mendorong si Boncel berkeinginan merubah kehidupannya menjadi lebih baik. Maka pada suatu hari si Boncel minta restu kepada kedua orangtuanya untuk berpamitan mencari pekerjaan keluar dari Bungbulang.

Dikisahkan perjalanan si Boncel adalah menuju daerah Cidaun Cianjur Selatan, di tengah hutan dalam perjalanannya tiba-tiba ia digong-gong anjing yang sedang memburu di hutan tersebut. Namun untunglah pemburu itu segera menghampiri si Boncel dan ditanya siapa, darimana dan mau pergi kemana untuk tujuan apa.

Setelah si Boncel menjelaskannya maka pemburu itu akhirnya mengajak si Boncel tinggal bersama dengan diberi pekerjaan mengurus kuda-kuda yang suka dipake memburu ke hutan. Pemburu itu bernama Ki Paninggaran seorang jawara sekaligus guru silat dari berbagai daerah yang hobbinya memburu ke hutan.

Tak terasa si Boncel sudah seminggu mengabdi di Ki Paninggaran sebagai tukang rumput makanan kuda, ia ingin mencari pekerjaan yang lebih baik lagi maka akhirnya ia memberanikan diri untuk ijin keluar mencari pekerjaan yang lebih baik, dan Ki Paninggaran mengijinkannya.

Dengan berbekal upah selama seminggu di Ki Paninggaran, maka Si Boncel terus melakukan perjalanan melewati Cidaun ke arah Sukabumi terus Cikotok Banten dan tibalah di wilayah Caringin Pandeglang Banten, saking kelelahannya ia memberanikan diri tidur bermalam di emperan rumah seseorang. Besok paginya si pemilik rumah yang tiada lain adalah pegawai desa di Caringin membangunkan si Boncel yang tengah lelap tidur. Lalu ditanya siapa, darimana, mau kemana dengan tujuan apa. Si Boncel pun menjelaskannya dengan harapannya bisa diterima bekerja di daerah sini.

Akhirnya pegawai desa tersebut mengajak si Boncel untuk tinggal bersama dan mengurus kuda-kudanya serta bisa antar jemput anaknya yang masih sekolah.

Pergaulan si Boncel dengan anak pegawai desa menyebabkan si Boncel jadi bisa baca, tulis dan hitung. Bahkan tempat kandang kuda majikannya oleh si Boncel ditulisin ‘Kandang Si Jalu’ dan ‘Kandang Si Gagah’.

Kepintaran si Boncel membuat majikannya mengangkat si Boncel membantu surat menyurat di desa, hingga membentuk pribadi si Boncel yang menjadi serba bisa dan semakin luas pengetahuannya.

Seiring majikannya naik jabatan menjadi lurah maka si Boncel diangkatnya sebagai sekretaris lurah, lalu majikan menjadi seorang Dalem Caringin maka si Boncel menjadi patihnya, dan akhirnya sang Dalem wafat maka si Boncel lah yang menggantikannya menjadi Dalem. Dan resmilah Boncel seorang dari Bungbulang Garut menjadi Dalem di Kadipaten Caringin Banten tahun 1840 – 1849.

Si Boncel yang setelah diangkat menjadi Dalem maka bergelar Raden Tumenggung Wiradijaya memiliki seorang istri bernama Nyimas Widaningrum dengan seorang putra bernama  Pangeran Raden Mas Kusumah Nagara.

Semoga tulisan ini bermanfaat, dengan harapan banyak pihak yang berkenan melengkapi dan menyempurnakan sejarah Dalem Boncel Putra Bungbulang Garut ini.
Dengan keterbatasan sumber dan informasi penulis berharap banyak kritikan serta saran yang membangun. Namun, dari catatan kecil penulis, semoga menjadi kado istimewa para penggiat sain dan kaum terpelajar agar lebih mendalami tentang sejarah local.

Wallahualam

Info Lainnya  Umat Katolik Rayakan Misa Natal Damai di Katedral Santo Petrus

Google News – Idisi Online