Pematangsiantar, idisionline.com— Situasi di balik kasus pelanggaran pembangunan Studio 21 semakin panas. Setelah mencuat dugaan bahwa bangunan tempat hiburan malam tersebut berdiri melanggar garis sempadan sungai, kini muncul fakta baru yang mengejutkan: Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Kota Pematangsiantar diduga memblokir nomor telepon wartawan awak media yang berupaya mengkonfirmasi kebenaran informasi tersebut.
Peristiwa ini terjadi ketika awak media ini mencoba meminta klarifikasi langsung terkait pelanggaran garis sempadan sungai yang dilakukan oleh pemilik Studio 21, Mahmud alias Amut. Namun, upaya konfirmasi itu justru berakhir buntu. Wartawan sekaligus Pemimpin Redaksi Media Selektif News Zulfandi Kusnomo mengaku nomornya diblokir setelah mencoba mengirimkan pesan dan menelepon Kepala Dinas PUTR Sofian Purba. “Sejak menjabat sebagai Kadis PUTR, si Sofian Purba ini memang terkesan alergi terhadap insan pers, apalagi jika menyinggung soal Studio 21 dan izin bangunannya, beliau selalu bungkam. Setelah itu, nomor kita tidak bisa lagi menghubungi beliau dan langsung diblokir,” ujarnya kesal.
Tindakan Kepala Dinas PUTR yang memblokir wartawan tersebut menimbulkan kemarahan di kalangan insan pers. Ketua Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI) Sumatera Utara Kemas Edi Junaedi, menilai tindakan itu adalah bentuk pelecehan terhadap kebebasan pers dan transparansi publik. “Ini sangat tidak etis bagi seorang pejabat publik. Wartawan menjalankan fungsi kontrol sosial, dan masyarakat berhak tahu kebenaran. Kalau pejabat malah memblokir wartawan, jelas ada sesuatu yang disembunyikan,” tegas Kemas Edi Junaedi yang kerap disapa Babe.
Sementara itu, Ketua Barisan Rakyat Hancurkan Tindakan Ilegal (Bara Hati), Zulfikar Efendi, kembali menuding bahwa sikap bungkam dan pembiaran Pemko Pematangsiantar semakin menguatkan dugaan adanya permainan besar di balik kasus ini. “Sekarang Kepala Dinas PUTR memblokir wartawan? Itu tanda bahwa mereka panik. Kalau tidak ada pelanggaran, kenapa takut bicara? Kenapa malah menghindar dari konfirmasi publik?” ujarnya lantang.
Zulfikar menegaskan bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai, bangunan seperti Studio 21 jelas melanggar aturan tata ruang karena letaknya langsung di bibir Sungai Bah Bolon. Ia mendesak Wali Kota Pematangsiantar dan DPRD segera turun tangan untuk memeriksa seluruh dokumen izin yang dimiliki Studio 21. “Kami khawatir surat izin mendirikan bangunannya (IMB) sudah direkayasa atau dikeluarkan tanpa kajian teknis yang sah,” tambahnya.
Menariknya, bukannya dibongkar malah kini beredar kabar bahwa Studio 21 akan beroperasi kembali. Fakta ini sejalan dengan sikap diam Pemko yang bungkam dan diduga mendukung tempat sarang peredaran narkoba ini agar beroperasi kembali. Publik menilai ada indikasi kuat bahwa proyek ini mendapat restu diam-diam dari pihak tertentu di dalam pemerintahan kota.
Aktivis lingkungan dari Komunitas Hijau Siantar, Azhari, juga menyayangkan sikap tidak transparan pejabat publik. “Pemblokiran wartawan adalah bentuk penghalangan informasi publik. Pejabat seharusnya menjawab dengan data, bukan menutup diri. Jika memang Studio 21 berdiri di sempadan sungai, itu berarti Pemko telah melanggar prinsip tata ruang dan mencederai kepercayaan warga,” ungkapnya.
Kini masyarakat dan media menunggu reaksi tegas dari Wali Kota Pematangsiantar terhadap sikap bawahannya yang dianggap arogan dan tidak profesional. Publik menuntut agar Kepala Dinas PUTR segera diperiksa oleh Inspektorat karena telah menunjukkan sikap tidak transparan dalam urusan publik atau bila perlu di copot karena dinilai tidak becus.
Gelombang kekecewaan kini makin meluas. Studio 21 bukan lagi sekadar simbol pelanggaran narkotika, tetapi telah berubah menjadi simbol bobroknya integritas dan transparansi pejabat publik di Kota Pematangsiantar. Pertanyaan besar pun menggema di kalangan masyarakat: “Ada apa sebenarnya di balik Studio 21?”